-->
9vfg0AJa4SKEeswrn3rRCky8f8QOEXRuxxHmRFzq
© Ifhaam. All rights reserved. Premium By Raushan Design

Labels

Bookmark

Ngobrol Bismillah dalam Kacamata Munadzoroh | Bag.2





Dalam bagian kedua ini kita akan ulas satu persatu dari tiga wadzifah yang sudah dituturkan dalam bagian pertama diatas.

Pertama, Man’u Haqiqi

Istilah man’u sendiri dalam disiplin ilmu munadzoroh adalah
طلب الدليل على الدعوى او النقل
“tholabu dalil ‘ala da’wa au annaqli”  yakni mengajukan permintaan dalil atas klaim yang diutarakan. Nah disini contohnya Mualif (pengarang kitab) mengutarakan klaim bahwasanya “mengawali penulisan karya dengan membaca bismillah adalah sesuatu yang sahih dan baik”, maka bagi Sa'il (orang yang tidak setuju dengan klaim ini) bisa menerapkan Man’u haqiqi yaitu kita meminta dalil atas klaim yang diutarakan mualif tadi, lafadz atau ungkapan yang digunakan adalah
دعواك هذه ممنوعة
 “da’waka hadzihi mamnu’atun”. 
Tadi diatas udah dijelaskan bahwa makna dari  Man’u Haqiqi itu ialah tholabu dalil (meminta dalil), maka ungkapan “da’waka hadzihi mamnu’atun” barusan itu se makna dengan 
انا اطلب منك الدليل
“ana atlhubu minka ad dalil”.  yang artinya “saya meminta dalil darimu”. 
Setelah si Sa’il melakukan Man’u haqiqi kepada klaim Mu’alil tadi, maka selanjutnya si Mu’alil gak diam, dalam ilmu munadzoroh ada prosedur selanjutnya yang bisa dilakukan oleh si Mu’alil dalam menjawab Man’u haqiqi si sail, yakni dengan konsep 
اثبات ما منعه السائل
itsbatu ma mana’a hu as sail”.
Artinya : menetapkan dalil atas apa yang di man’u oleh si sail. jadi disini si Mu’alil harus menjelaskan dalil atas klaim nya yaitu klaim bahwa mengawali penulisan karya dengan bismillah adalah hal yang sahih. Maka si Mu’alil bisa mengutarakan contoh dalil seperti  ini
لانّ هذا التصنيف امر ذو بال وكل امر ذي بال ينبعي تصديره بالبسملة، فهذا التصنيف ينبغي تصديره بالبسملة
 “li anna hadza tasnif amrun dzu balin wa kullu amri dzi balin yanbagi tashdiruhu bil basmalah, fa hadza tashnif yanbagi tashdiruhu bil basmalah”
artinya : “karena menulis karya itu adalah perkara baik, setiap perkara baik seyogyannya diawali dengan bismillah (sesuai hadist nabi), ya maka menulis karya pun (perkara baik) seyogyanya diawali dengan basmallah.
Sampai disini udah ada tiga tahap yakni, 
Klaim dari Mu’alil > Man’u Haqiqi dari Sa’il > Itsbat dari Mua’alil
Nah setalah si Mu’alil meng-itsbat, ada tahap selanjutnya yang bisa dilakukan Sa'il atau istilahnya ada wadzifah bagi Sa'il, yaitu balik lagi seperti ditahap tadi yakni Man’u haqiqi namun ada perbedaan, kalau diatas kan si Sa'il nge- man'u da’wa nya mua’alil secara langsung. nah kalau sekarang, karena si Mua’lil udah Itsbat dalil, maka si Sa'il pun tidak lagi nge man’u da’wa namun nge-man’u muqodimah (premis) dari dalil yang diutarakan si Mu’alil baik nge-man'u muqodimah sughronya (premis minor) atau muqodimah kubronya (premis mayor). Kalau nge-man'u muqodimah sughro maka ngomongnya
صغرى دليلك ممنوعة
 “sughro dalilika mamnu’atun” 
Namun, kalau yang di man’u nya muqodimah kubro maka ungkapannya كبرى دليلك ممنوعة
kubro dalilika mamnu’atun”.
Sedikit disclaimer nih, bahwa ngobrol tentang munadzoroh sedikit banyaknya akan menyinggung mantiq juga, kayak barusan kita menemukan istilah istilah muqodimah sughro muqodimah kubro, dan istilah istilah lainnya yang akan sering kita temukan dalam pembahasan pembahasan lebih lanjut. 
Ini baru jenis pertama dari wadzifah si Sa'il lho, hehehe udah cukup panjang kan..?
Sebelum lanjut ke wadzifah kedua yakni “An naqdu asyabihi”.  kita susunkan dulu tahapan dalam pembahasan yang pertama ini.
Klaim si mu’alil > Man’u haqiqi si sa’il pada klaim si mualil > Itsbat si mu’alil berupa penetapan dalil atas klaimnya> Man’u haqiqi si sail atas muqodimah dalil si mua’lil.
Dengan memahami aturan seperti ini maka perdebatan atau diskusi antara dua pihak akan lebih runtut dan teratur tidak akan melebar kemana mana, sehingga tidak akan keluar dari substansi materi yang didiskusikan. Mulai faham kan gimana pentingnya memahami aturan semacam ini sebelum kita berdebat atau berdiskusi dengan seseorang. Tadi kan yang diurutkan ada 4 tahap, pertanyaan nya gimana kalau udah empat tahap tadi namun perdebatan masih sama sama kuat, nah kalau memang si sail masih memungkinkan untuk me-man’u setiap muqodimah dalil dari itsbat dalil si mu’alil, atau bahkan me-naqd dalil si mu’alil, karena kalau si mu’alil udah mengutarakan dalil, si sa'il otomatis akan punya dua wadzifah baik me-man’u dalil atau me-naqd. dan si Mua’lil pun kalau masih memungkinkan untuk meng-isbat dalil atas man’u si sail atau naqd si sa'il, ya hal itu bisa terus dilakukan, karena bagaimana pun akan ada dalil yang paling kuat yang bisa disepakati. Jika dalam masalah khilaf mungkin akan bisa menyepakati mana dalil yang paling kuat mana yang tidak, sehingga dapat diketahui qaul mana yang paling  kuat diantara khilaf tersebut. Namun jika dalam hal yang bukan ranah khilaf maka bisa menghasilkan kesepakatan mana hal yang tepat mana yang keliru. 

Kedua, Naqd Syabihi

Jadi bagi sail /orang yang kontra dg klaim mu’alil, ia juga bisa meng-ekspresikan bentuk kontranya dengan metode naqd asyabihi, jika Man’u haqiqi itu adalah طلب الدليل على دعوى معلل / tholabu dalil ‘ala da’wa mu’alil (meminta dalil atas klaim mu’alil) nah kalau Naqd asyabihi adalah
 ابطال الدعوى او النقل غير مدللين بشهادة استلزامها الفساد / “ibtholu da’wa au an naqli ghoiro mudallalaini bi syahaadati istilzaamiha al fasad”. Jadi disaat si mua’lil mengutarakan klaim disini kasus nya pengarang kitab (muallif) yang mengklaim atas “sahih dan baiknya mengawali penulisan karya dengan bismillah”. Nah bagi sa’il boleh ابطال الدعوى / ibtholu dakwa yakni membatalkan klaim tersebut, namun perlu digaris bawahi bahwa maksud “membatalkan klaim” disini adalah membatalkan dalil, mengapa punya kesimpulan seperti ini..? Ya, karena kita melihat dari konsekwensi Man’u, Naqd, dan Mu’arodzoh itu sendiri, jadi Man’u dan Naqd itu konsekwensinya tidak sampai pada sahih dan tidaknya da’wa, namun lebih fokus mengusut tuntas dalil yang digunakan mu’alil dalam da’wa nya, apakah sudah tepat atau belum. Nah balik lagi ke naqd, si Sail dalam membatalkan dalil mu’alil tersebut, dengan menggunakan  syahid, syahid sendiri adalah istilah untuk dalil yang digunakan si sa’il dalam me-naqd, jadi substansinya sama aja, cuma beda pengistilahan aja. Yang mana dengan syahid  nya tersebut, si sail bisa membuktikan fasadnya (rusaknya) klaim si mua’lil. Nah dalam disiplin ilmu munadzoroh untuk mengutarakan naqd asyabihi dikenal dengan redaksi seperti contoh berikut : 
دليلك هذ باطل لأنه مستلزم للفساد و كل دليل مستلزم للفساد فهو باطل
“daliluka hadza bathilun liannahu mustalzamun lil fasad wa kullu dalilin mustalzamin lil fasad fahwa bathilun”.  Nah, karena dalam contoh kasus disini kita sedang memperdebatkan “mengawali penulisan karya dengan basmallah” maka contoh redaksi dalil nya seperti ini 
دليلك هذ باطل لأنه مستلزم للفساد وهو الدور او التسلسل و كل دليل مستلزم للفساد فهو باطل ووجه الإستلزام ان البسملة نفسها امر ذو بال فينبغي تصديرها بالبسملة الأخرى والأخرى  كذالك وهكذا الى ما لا نهاية له فيدور ويتسلسل
daliluka hadza bathilun liannahu mustalzamun lil fasad wa hua addaur au attasalsul  wa kullu dalilin mustalzamin lil fasad fahwa bathilun  wa wajhul istilzam annal basamalata nafsaha amrun dzu balin fa yanbagi tashdiruha bil basmalah al ukhro wal ukhro kadzalik wa hakadza ila ma la nihayata lahu fa yaduru wa yatasalsulu”. Artinya : dalilmu ini batal karena akan menetapkan pada fasad (kerusakan) yakni addaur (perputaran tanpa henti) dan tasalsul (berantai tanpa akhir). Wajh istilzam nya demikian “ dzatiyah bismillah itu perkara baik, kalau semua perkara baik mesti diawali bismillah, maka kita perlu dong mengawali bisimillah dengan bismillah lain, dan bismillah yang lain ini juga diawali  dengan bismilillah yg lainnya lagi, dan seterusnya tanpa henti".  hal demikian adalah sesuatu yang fasad tidak bisa diteriama.
Sedikit saya jelaskan mengenai redaksinya, bahwa dalam catatan yang lain, tidak menggunakan redaksi “daliluka” namun diganti “da’waka”. Nah ini yang perlu selalu kita ingat, walapun redaksinya da’wa namun maudhu dari naqd nya tetep pada mengusut tuntas dalil dari klaim awal. Nah sehingga dapat kita ambil kesimpulan, bahwa kita belum bisa menerapkan konsep naqd syabihi ini jika si Mu'alil belum mengutarakan dalil, karena pada dasarnya akan ada dua kemungkinan berikut ; Pertama, si Mu'alil mengutarakan klaim saja. Kedua, mengutarakan klaim beserta dalil.
Nah disaat si Mu'alil hanya mengutarakan klaim saja, maka kita perlu man’u terlebih dahulu, baru setelah di-man’u dan si Mu'alil menjawab man’u nya dengan itsbat dalil, barulah disini si sail bisa me-naqd, atau bisa juga sebenernya pada tahap ini si sail me-man’u kembali muqodimah dalil nya sebagaimana di atas dijelaskan. Dari kesimpulan seperti ini maka akan menghasilkan dua gambaran tahapan.

• Da’wa si mu’alil tanpa dalil > Man’u haqiqi permintaan dalil dari si sa’il ke mu’alil> Itsbat dalil penetapan dalil dari si mu’alil atas man’u si sail> nah baru disini si sail bisa Naqd syabihi membatalkan dalil si mua’lil, sebenernya pada tahap ini juga opsinal antara naqd syabihi atau man’u haqiqi lagi pada muqodimah dalil nya terlebih dahulu kalau memang butuh me man’u. Nah karena disini kita sedang fokus membahas naqd syabihi maka pada tahap ini untuk gambaran selanjutnya, kita akan pilih opsi naqd syabihi.

• Da’wa dengan dalil > Naqd syabihi si mu’alil membatalkan dalil yang diutarakan si sail
Nah setelah si sail me-naqdu terhadap dalil si mua’lil. si mua’lil bisa menjawab kembali naqdu si sail dengan redaksi berikut : 
لا نسلم ان البسملة ينبغي ابتداؤها بالبسملة الأخرى لم لا يجوز ان تكون البسملة كما انها تبسمل غيرها فهو تبسمل نفسها كما ان الساة الواحدة كما انها تزكي غيرها ، تزكي ايضا نفسها وهكذا
“la nusallimu annal basmalata yanbagi ibtidauha bil basmalah ukhro, li ma la yajuzu an takuna al basmalah kama annaha tubasmilu ghoiroha  fa huwa tubasmilu nafsaha ka ma anna satta al wahidata kama annaha tuzakki ghoiroha tuzakki aidon nafsaha wa hakada”
Jadi dalam tahap ini si  mua’lil menjawab naqd dari sail dengan jawaban berupa ketidak setujuan atas dalil yang dibawa dalam naqdu si sail, arti dari kalimat diatas sendiri adalah seperti berikut “Saya tidak taslim dengan anda yang mengatakan bahwa bismillah membutuhkan untuk diawali dengan bismillah lagi (dalam naqdu nya kan si mu'alil mengutarakan dalil, bahwa tidak semua perkara baik harus diawali dg bismillah, contohnya seperti bismillah, ia perkara baik, maka harus diawali bismillah juga. Dan jika ini berlaku, maka akan menetapkan sebuah kesimpulan seperti berikut: "bismillah butuh di awali bismillah lain, terus bismillah lain nya tersebut butuh di awali bismillah lain nya juga dan seterusnya tanpa henti, yang menyebabkan terjadinya daur atau tasalsul) nah si mualil tidak setuju dg adanya kesimpulan “bismillah membutuhkan di awali bismillah lain” karena kata mua’lil kenapa tidak bisa konsepnya seperti ini, "bahwasanya bismillah yang kita bacakan misal sebelum nulis, itu dibacakan untuk dzatiah bismillah itu sendiri dan jugavuntuk mengawali pekerjaan yang dimaksud, sebagaimana dalam kasus zakat, seseorang ketika memiliki 40 ekor domba, maka mesti mengeluarkan zakat satu ekor domba, nah berarti disaat satu ekor dikeluarkan, domba nya hanya 39 dong, berarti hanya men-zakati 39 ekor doang...?, nah jawabannya, bahwa si satu ekor domba yang dikeluarkan tersebut selain sebagai bentuk penunaian zakat atas 39 domba yang lain juga menzakati domba itu sendiri, jadi masih terhitung.”

Nah terakhir, setelah si mu’alil menjawab naqd dari si sail. Si sail sendiri bisa merespond kembali si mua’alil  dengan me-naqd kembali jawaban si mu’alil 
Dengan ungkapan : دليلك هذا باطل لأنه جار في مدعى آخر متخلفا عنه حكم المدعي وكل دليل كذلك فهو باطل ووجه الجريان ان الأذان والخطبة هما أمر ذو بال ووجه التخلف انهما لا ينبغي تصديرها بالبسملة
daliluka hadza batilun li annahu jarin fi mudda’an akhor mutakhifan ‘anhu hukmul mudda’i wa kullu dalilin kadzalik fa huwa bathilun, wa wajhul jarayan annal adzan wal khutbah huma amrun dzu balin, wa wajhut takholuf anna huma la yanbagi tashdiruha bil basmalah.
 Nah jawaban sa’il barusan mematahkan klaim mu’alil yang mengatakan bahwa setiap perkara baik seyogyanya di awali dengan bismillah, si sail gak setuju makanya bilang “dalilmu tersebut batal, karena jika klaim tersebut di jalankan dalam klaim lain akan ada ruang persamaan namun menimbulkan kesimpulan berseberangan. 
Wajh jarayan ( ruang penerapan) : bismillah perkara baik, adzan dan khutbah juga perkara baik.
Wajh takholuf (ruang perbedaan) : adzan dan khutbah dua hal yang tidak layak atau tidak patut diawali dengan bismillah.
Begitulah akan terus seperti itu saling bantah dalil jika keduanya emang masih memungkinkan menampilkan dalil sampai ada kesepakatan antara kedua belah pihak, jika dalam masalah khilaf mungkin akan bisa menyepakati mana dalil yang paling kuat sama yang tidak, sehingga dapat diketahui qaul mana yang paling kuat dari khilaf tersebut. Namun jika dalam hal yang bukan ranah khilaf maka bisa menghasilkan kesepakatan mana hal yang tepat mana yang keliru.

Ketiga, Mu’arodoh Taqririyah.

Jika man’u adalah tholabud dalil, kemudian naqd adalah ibtholu dalil, maka yang terakhir ini adalah Iqomatu dalil. Sehingga definisi dari Mu’arodoh haqiqiyyah sendiri adalah “iqomatud dalil ‘ala khilafi ma aqoma ‘alaihi  al mudda’i addalila”  mendirikan dalil yang berseberangan dengan dalil yang diutarakan si mudda’i (mu’alil). Karena konsekwensi mu’arodoh itu adalah pada sah dan tidaknya da’wa, maka penetapan dalil yang dilakukan si sail disini pun sebagai bentuk penolakan atas klaim si mua’lil bukan fokus pada pengusutan dalil dari da’wa si mualil
Gini gambaranya
Dari si mu’alil
a. Klaim : mengawali penulisan karya dengan bismillah adalah hal yang sepatutnya.
b. Dalil : penulisan karya adalah hal baik, setiap hal baik sepatutnya diawali dengan bismillah, maka penulisan karya sepatutnya diawali dengan basmallah.
Nah konsep mu’arodoh ini digunakan saat si sail tidak setuju dengan klaim mu’alil dan menganggap klaim mu’alil itu adalah tidak sahih. Pembatalan da’wa nya tersebut dengan cara menetapkan dalil yang bersebrangan. Dalam disiplin ilmu (fan) munadzoroh pernyataan mu’arodoh taqririyyah sering diredaksikan dengan redaksi seperti berikut 
دعواك هذا وان فرض ان عندك دليلا على صحة ما ادعيت. لكن عندي دليل ينفيه
da’waka hadzihi wa in ‘uridho anna ‘indaka dalilan dalla ‘ala sihhati ma idda’aita lakin ‘indi dalilun yunfihi” 
nah setelah redaksi tadi, baru kita jelaskan dalil yang sesuai dengan topik pembahasannya, karena disini kita membahas seputar mengawali penulisan karya dengan  bismillah. Maka contoh dalilnya seperti ini 
وهو ان هذا التصنيف ليس امرا ذا بال لأنه تصنيف الفلاسفة وكل ما ليس امرا ذا بال لا ينبغي تصديره بالبسملة
wa huwa anna hadza tashnif laisa amran dza balin li annahu tashniful falasifah, wa kullu ma laisa amran dza balin la yanbagi tashdiruhu bil basmalah”.   
Selanjutnya bagi si mu’alil jika memang memungkinkan, boleh menjawab kembali dengan menyanggah dalil yang diutarakan si sail tersebut. Dan seterusnya sebagaimana di pembahasan sebelumnya.

Wa allahu a’lam.

Jadi itulah gambaran sedikit mengenai penerapan ilmu munadzoroh dalam konteks "pengucapan bismillah"

*Tulisan ini sebagai bentuk ulasan saya dalam menyimpulkan hasil dari kajian risalah waladiyyah, sebagian pembaca disini mungkin ada yang lebih memahami dalam hal ini, maka dari itu saya sangat mengharapkan bagi siapa saja jika yang menemukan hal-hal yang kurang tepat dalam tulisan ini. Untuk senantiasa mengkoreksinya. 😉
Post a Comment

Post a Comment