Sering kita menyaksikan di mana ada di antara mereka menjual ayat demi kepentingan pribadi atau kelompoknya baik atas motif kekuasaan, harta kekayaan, atau hasrat semata. Mereka berkata agama namun dengan tujuan yang sangat jauh dari agama. Hal tersebut merupakan gambaran di antara bentuk politisasi agama.
Jika merujuk pada KBBI, politisasi adalah hal membuat keadaan (perbuatan, gagasan, dan sebagainya) bersifat politis. Dan makna dari “politisasi agama” sendiri adalah upaya menjadikan agama sebagai alat untuk meraih tujuan politik.
Politisasi agama bukanlah hal baru dalam perkembangan sejarah Islam. Bahkan jika kita membaca kembali sejarah di masa Rasulullah, kita akan banyak menemukan bentuk-bentuk politisasi agama yang pernah terjadi, yang dilakukan oleh orang-orang munafik.
Masjid adh-Dhiror adalah contoh di antara bentuk politisasi agama di masa Rasulullah. Peristiwa ini merupakan latar belakang diturunkannya surat At- Taubah ayat 107-110.
Kedatangan Rasulullah di Madinah tidak seratus persen disambut baik oleh warga Madinah, banyak di antara mereka yang merasa tidak senang dengan hadirnya Rasulullah di tengah warga Madinah, Abu Amir ar-Rahib adalah satu di antaranya, seorang pria dari kaum Khazraj yang merupakan seorang rahib. Dia memeluk Nasrani pada masa jahiliyyah dia sangat dihormati oleh masyarakatnya dan terkenal sebagai ahli ibadah serta rajin membaca kitab-kitab milik kaum ahli kitab.
Dikala Rasulullah mendakwah-kan Islam kepadanya, Abu Amir ar-Rahib menolak keras ajakan Rasulullah tersebut. Bahkan dia ikut bergabung dengan kaum musyrik mekah dalam memerangi Rasulullah pada saat Perang Badar maupun Perang Uhud. Setelah Perang Uhud usai, dia lari dan pergi ke Heraclius raja Romawi untuk meminta bantuannya. Dan ia dijanjikan bantuan oleh Heraclius. Namun dalam beberapa riwayat lain Abu Amir ar-Rahib pergi ke Heraclius ada kemungkinan setelah Perang Uhud, atau Perang Hunain, Atau Perang Khandaq.
Nah, pembangunan masjid adh-Dhiror oleh dua belas dari golongan orang-orang munafik, pada dasarnya semua itu atas arahan Abu Amir ar-Rahib, di mana ia menyurati orang-orang dari golongannya ahli nifaq, untuk membuat benteng sebagai markas pengintaian, dan sebagai tempat berlindung orang-orang yang menyampaikan suratnya. Karena dia berencana akan membawa masukan romawi menyerang dan memerangi Rasulullah. Dalam beberapa riwayat, Mujami’ bin jariyyah yang memimpin kelompok itu, selain motif diatas, pembangunan masjid ini memiliki motif lain, dua belas orang yang membangun masjid ini merupakan orang-orang bani ghunmun bin ‘auf dari golongan Khazraj. Mereka iri karena orang-orang dari Bani Amru bin ‘Auf telah membangun Masjid Quba. Dan meminta Nabi untuk mendatangi mereka, dan mereka pun merasa terhormat ketika Rasulullah mendatanginya. Nah kelompok yang berisi dua belas orang ini, iri dengan Bani Amru bin ‘Auf lantas mereka pun membangun masjid dengan motif tesebut selain motif utama yakni membangun benteng atas arahan Abu Amir ar-Rahib.
Setelah masjid berdiri kokoh, mereka mendatangi Rasulullah yang sedang bersiap melaksanakan perjalanan perang ke tabuk, mereka meminta Rasulullah mendatangi masjid mereka untuk mendapatkan keberkahannya. Yang jelas, di hadapan Rasulullah mereka berusaha menyembunyikan motif utama pembangunan masjid itu, mereka berpura-pura dengan menjelaskan bahwa masjid ini dibangun untuk membantu orang-orang di sekitar yang sakit yang tidak bisa pergi ke Masjid Quba karena terlalu jauh, atau untuk orang-orang yang punya hajat dan keperluan serta malam-malam yang banyak hujan. Intinya mereka ingin Rasulullah meresmikan masjid itu dan Rasulullah shalat di sana. Rasulullah berkata kepada mereka bahwa Rasulullah berencana untuk mengunjunginya setelah perang tabuk.
Dikisahkan bahwa ketika Rasulullah kembali dari tabuk dan mendekati Madinah, kira-kira jarak satu hari perjalanan, Malaikat Jibril turun dengan mebawa wahyu tentang Masjid adh-Dhiror ini serta menjelaskan motif dibalik pembangunan masjid tersebut. Bahwasanya mereka membangun masjid untuk kekafiran, kemunafikan, dan menciptakan perpecahan diantara kaum Mukminin. Dalam ayat itu Allah memerintahkan untuk menghancurkan masjid tersebut.
Setelah sampai ke Madinah Rasulullah memerintah Malik bin Dukhsyum, Ma’nun bin ‘Uday, ‘Amir bin Sakran dan Wahsyi sang pembunuh Hamzah untuk menghancurkan masjid tersebut, Malik bin Duksyum keluar rumahnya dengan membawa opor api dan membakar masjid tersebut. Maka hancurlah Masjid adh-Dhiror tersebut ditangan empat orang itu.
Peristiwa sejarah ini telah menghasilkan kesimpulan-kesimpulan hukum fiqih. Dikutip dalam kitab tafsir al qurthubi (8/254), bahwasanya ulama madzhab Maliki berpendapat bahwa setiap masjid yang dibangun dengan tujuan kemudharatan atau riya atau mencari popularitas maka hukumnya sama dengan masjid Dhirar, tidak boleh shalat didalamnya dan tidak boleh membangun masjid di sebelah masjid yang lain, dan wajib dihancurkan, kecuali memang di tempat tersebut penduduknya besar dan tida cukup dengan satu masjid untuk menampungnya.
Syekh Wahbah Zuhaili dalam tafsir nya menerangkan bahwa yang dimaksud Adhiror (kemudharatan) itu adalah orang yang membangunnya, bukan bangunan masjidnya.
Kata الضرار (Adhiror) dan الضرر (adhoror) memiliki sedikit perbedaan, Adhirar adalah kemudhorotan yang mana pelakunya tidak mendapatkan manfaat dari kemudharatan yang dilakukannya, sedangkan Adhoror yaitu kemudharatan yang mana pelakunya mendapat manfaat dari kemudharatan yang dilakukannya.
Menanggapi fenomena dari peristiwa Masji adh-Dhiror ini Imam Jalaluddin as-Suyuthiy dalam kitabnya al-Hawi lil Fatawi berkata: para ulama berkata : jika masjid saja yang diciptakan untuk ibadah dan syariat menganjurkan untuk membangunnya. Menjadi berubah dan memerintahkan untuk menghancurkannnya, lantas bagaiamana pendapatmu untuk selain masjid.? Jelas lebih pantas untuk dihilangkan dan dihancurkan.
Karena sebagaimana hadist Nabi Saw. yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Ibnu Majah dari Ibn Abbas
لا ضرر ولا ضرار
“tidak boleh berbuat kemudharatan (dan kamu mendapat manfaat di dalamnya), dan tidak boleh berbuat kemudharatan (walau kamu tidak mendapat manfaat didalamnya).” (HR Ahmad dan Ibnu Majah)
Dalam istilah modern kita mengenal teori “dispotic” dalam penggunaan hak. Dimana orang yang mendatangkan kemudharatan kepada orang lain maka harus dicegah, dan ternyata jauh sebelum istilah-istilah modern ini muncul, ulama-ulama fiqh seperti para imam madzhab telah lama merumuskan teori teori ini.
Kesimpulannya, bahwa peristiwa Masjid adh-Dhiror ini adalah diantara contoh bentuk politisasi agama, dimana mereka mengatasnamakan agama untuk kepentingan lain yang sangat jauh dari agama, seperti kekufuran, kemunafikan dan tujuan-tujuan lain yang dilarang oleh syariat. Selain itu peristiwa Masjid adh-Dhiror ini telah banyak mengahasilkan produk hukum fiqih dikalangan para ulama fiqih, di antaranya sebagaimana yang di singgung diatas.
Wa allahu a’lamu bi showab
.......
Referensi;
Syekh Wahbah Al juhaily, tafsir munir
Jalaluddin Asy Syuyuti, al hawi lil fatawi
Ibn Katsir, tafsir al qur’an al ‘’adzim,
Imam Qurthubi, tafsir al qurthubi




Post a Comment