-->
9vfg0AJa4SKEeswrn3rRCky8f8QOEXRuxxHmRFzq
© Ifhaam. All rights reserved. Premium By Raushan Design

Labels

Bookmark

Memahami دلالة الإنقاء dalam istinja berdasarkan perspektif fiqh syafi'i

Ulama Fiqih mengklasifikasikan طهارة (bersuci) pada beberapa klasifikasi
Pertama, طهارة secara haqiqi. Yakni wudlu, mandi besar dan ازالة النجاسة (menghilangkan najis). Dikatakan thaharoh secara haqiqi karena dalam ketiganya ada esensi dari thoharoh itu sendiri, dalam wudhu dan mandi besar ada esensi thaharah yakni رفع (mengangkat), begitupun dalam ازالة النجاسة esensi thaharoh nya ialah ازالة (menghilangkan).¹

Nah, Istinja sendiri pada dasarnya ialah menghilangkan najis, hanya saja pengistilahan istinja sebagaimana yang bisa kita lihat dalam mausu'ah fiqhiyyah kuwaitiyyah, yakni lebih khusus pada istilah menghilangkan najis yang keluar dari qubul atau dubur dari tempat keluarnya.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa ازالة النجاسة bisa dimaknai secara عام bisa juga secara خاص. Jika ازالة النجاسة dimaknai dengan makna nya yang umum (عام) maka nisbatnya pada istinja adalah sebagai مقسم dan istinja sebagai قسم diantara اقسام nya dan masuk pada klasifikasi كلي الى جزئياته  bukan كل الى اجزاءه. Namun nisbat استنجاء terhadap ازالة bisa juga sebagai قسيم, jika yang dimaksud adalah ازالة secara khusus yakni yang selain istinja. Nah dalam bahasan ini kita memasukan pada arahan yang kedua. Dimana استنجاء dan ازالة adalah dua hal yang berbeda yang merupakan bagian dari ازالة yg secara عام .

Secara fiqh jelas ada beberapa konsekuensi- konsekuensi yang berbeda antara استنجاء dan ازالة.
Selain dengan air dalam istinja' juga boleh menggunakan batu dan yang semaknanya yg diistilahkan dengan استجمار, berbeda dengan ازالة yang hanya dilakukan dengan air saja.
Dengan ازالة najis dihukumi terangkat dan tempatnya dihukumi suci. Sedangkan dalam istinja terjadi tafsil jika istinja nya dengan air (استنجاء بالماء) maka najis terangkat dan tempatnya dihukumi suci. Sedangakan jika istinja nya dengan batu (استنجاء بالحجر) maka pada dasarnya najis tidak dihukumi terangkat sehingga tempatnya masih dihukumi mutanajis hanya saja statusnya dima'fu (diampuni).

Setelah memahami apa itu ازالة secara makna umum dan secara makna spesifik serta bagaimana hubungan nya dengan istinja. Nah selanjutnya seperti yg sudah disinggung diatas, bahwa istinja itu ada dua, ada istinja dengan air yang mana istinja dengan air ini bisa mensucikan mahal istinja nya. Ada istinja dengan batu (استجمار) istinja dengan batu tidak mensucikan mahal istinja nya, hanya saja di ma'fu, dan dalam fiqih syafi'i di syaratkan menyeka nya minimal tiga seka-an. Sehingga walaupun sudah bersih (حصول الإنقاء) jika belum tiga seka-an maka dalam fiqih syafi'i istinja nya tidak dikatakan cukup. Dalam arti bahwa selain dituntut untuk حصول الإنقاء juga dituntut supaya melakukan nya tiga kali sekaan.

 
Nah menarik untuk diketahui bahwa pen-syaratan minimal tiga kali seka-an ternyata tidak berlaku dalam fiqih maliki. Mengutip dari kitab al majmu 'syarah muhadzab (2/104 M. Syamilah) bahwa dalam Madzhab Maliki termasuk juga pendapatnya Ahmad Ishaq, Ibn Tsaur, Daud Adzhohiri, dan juga ada sebagian ashab syafi'iyyah, dalam pendapatnya bahwa istinja bil hajar dikatakan mencukupi ketika sudah bersih walaupun tidak dengan tiga kali sekaan misal hanya dengan satu kali. Para ulama tadi berhujjah atas dasar hadist dari riwayat Abu Hurairah

 
‎(من استجمر فليوتر من فعل فقد أحسن ومن لا فلا حرج)

Menurutnya sebagai kesimpulan dari hadist tersebut bahwa Tiga kali sekaan bukan lah sebuah syarat melainkan thoriq ahsan (jalan yang dianggap terbaik) juga melihat makna dari ومن لا فلا حرج yakni لا حرج في تركه  tidak ada dosa dalam meninggalkannya (tidak tiga kali). Oleh karena itu, maka dalam Qaul ini tak ada perbedaan antara istinja dengan air dan istinja dengan batu. Sama-sama dihukumi mencukupi walaupun tidak dengan tiga kali. Beda hal nya dengan Madzhab Syafi'i. Lantas mengapa  madzhab syafi'i itu membedakan antara keduanya. Nah alasannya karena menurut madzhab syaf'i  dilalah inqo antara istinja dengan air dan istinja dengan batu itu berbeda. Mengenai penyaratan tiga kali sekaan, itu pun berdasarkan banyak hadist shohih salah satunya hadist dari riwayat sahabat Salman al farisi. Menurut al Khotobi bahwa redaksi أمرنا أن نستنجي بثلاثة أحجار dalam riwayat hadist Salman itu sudah jelas bahwa istinja dengan kurang dari tiga batu (tiga sekaan) itu tidak dianggap cukup walaupun mahal istinja nya sudah bersih. Karena menurut Al Khotobi, jika hanya حصول الإنقاء yang menjadi tolak ukur tanpa melihat minimal tiga kali sekaan, maka penyaratan tiga kali sebagaimana dalam redaksi redaksi hadis shohih tidak akan memiliki makna apapun, dan hal ini sesuatu yang tidak mungkin. Kemudian menurutnya bahwa mengapa dalam istinja dengan air cukup hanya dengan حصول الإنقاء saja, walaupun hanya dengan satu kali, dengan arti tanpa adanya penyaratan tiga kali. Karena dilalah inqo dalam istinja dengan air bersifat pasti (قطعية) sehingga tidak berlaku persyaratan ‘ada. Beda halnya denga istinja bil hajar yang dilalah inqonya bersifat ظني (prasangka kuat) sehingga masih membutuhkan persyaratan ‘adad  konsep seperti ini berlaku sama halnya seperti dalam masalah ‘idah dengan masa sucian (قرء) dalam hal ini ada penyaratan ‘adad padahal bisa saja kosongnya rahim (براءة الرحم) hasil dengan satu kali sucian. Namun hal ini tetap di syaratkan ‘adad karena dilalah baro’ah nya bersifat dzonniy. Jika kesimpulan nya seperti ini terus bagaimana menyikapi riwayat hadirat yang dijadikan hujjah oleh mazhab Maliki sebagai dalil tidak disyaratkan nya ‘adad. Masih menurut Al Khotibi, Menurutnya bahwa untuk menjawab dari riwayat hadits tersebut ialah dengan mengarahkan makna hadist tersebut pada gambaran yang berbeda, bahwasanya maksud dari
‎ “من استجمر فاليوتر من فعل فقد احسن ومن لا فلا حرج
“Barang siapa yang beristinja dengan batu sehendaknya dengan bilangan ganjil orang yang melaksanakan nya sungguh telah berbuat baik dan orang yang tidak melakukan nya tidak ada dosa baginya” makna hadist ini maksudnya diarahkan pada kasus orang yang beristinja dan sudah tiga kali namun belum bersih nah maka harus menambah sekaan nya sampai bersih, nah yang disunahkan nya menambah dengan tambahan yang ganjil. Kesimpulan ini ialah sebagai bentuk penerapan konsep jam’u antara dua hadist yg terlihat seakan kontradiksi.

Nah, seperti itulah ulasan singkat mengenai dilalah inqo dalam istinja berdasarkan perspektif fiqih syafi’i

Wa Allah a’lamu.

…..
Sumber bacaan.
taqriraat assadidah
hasyiyah bujairimi ala khotib 
Majmu’ syarh muhadzab
Post a Comment

Post a Comment